STATUS HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN
BERDASARKAN HUKUM INDONESIA
I. PENDAHULUAN
Perkawinan campuran telah merambah seluruh
pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi,
pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur
adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang
dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan
berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet,
kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman
sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga
kerja Indonesia
dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan
campur di Indonesia sudah
seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan
baik dalam perundang-undangan di indonesia.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :
”Yang dimaksud dengan
perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Selama hampir setengah abad pengaturan
kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara
asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya
waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak
dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan
Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut
gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing,
walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar
Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah
memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari
perkawinan campuran.
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam
perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan
yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir
dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam
UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya.
Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang
tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga
negara asing.
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat
menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum
anak dari perkawinan campuran, berikut komparasinya terhadap UU Kewarganegaraan
yang lama. Secara garis besar perumusan masalah adalah sebagai berikut :
Bagaimana pengaturan status hukum anak yang lahir
dari perkawinan campuran sebelum dan sesudah lahirnya UU Kewarganegaraan yang
baru?
Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan
masalah bagi anak?
II. ANAK SEBAGAI SUBJEK HUKUM
Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak adalah :
“Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.”
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia
memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi
pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum
apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup.
Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam
lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu
lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan pasal 1330
KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa,
wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan demikian anak dapat
dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau
walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan
campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang
berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU
Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun
berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua
kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda
tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.
III. PENGATURAN MENGENAI ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN
A. Menurut Teori Hukum Perdata Internasional
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan
hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang
tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah
sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut
tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki
hubungan hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal.
Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan
negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis).
Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala
keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini
adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan,
demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya.
Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di
negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok
negara-negara sosialis.
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya
pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua
anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua
terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama.
Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun
1958.
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang
baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda
dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit
bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda
kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
B. Menurut UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958
1. Permasalahan dalam perkawinan campuran
Ada dua bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya:
a. Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara
Indonesia (WNI)
Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara
Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya,
apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali
apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa
kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia
maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya
mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak
bisa meninggalkan Indonesia karena satu dan lain hal( faktor bahasa, budaya,
keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll) maka banyak pasangan seperti terpaksa
hidup dalam keterpisahan.
b. Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga
Negara Indonesia (WNI)
Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 UU
No.62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia
dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga
harus kehilangan kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun
harus dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa
itu terlewati , maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti persyaratan
yang berlaku bagi WNA biasa. Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini
mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus
diperpanjang setiap tahun dan memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya.
Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya
di Indonesia menjadi tidak jelas Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri
memerlukan reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai
sponsor. Bila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus
segera dialihkan dalam waktu satu tahun. Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja
kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat
bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan
ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.
2. Anak hasil perkawinan campuran
Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak
mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum
kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan
Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia
setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang
bertempat tinggal dan berada di Indonesia
itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh
kewarga-negaraan Republik Indonesia
menjadi tanpa kewarga-negaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan
campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing
:
1. Menjadi warganegara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara
asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958),
maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan
kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan
Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak
jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di
Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri)meningggal tidak jelas
apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.
2. Menjadi warganegara asing
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia
dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga
negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan
dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang
dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit
bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958
dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan
Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah
pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya
kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya
yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun
atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan
kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah)
menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan
ayahnya).
C. Menurut UU Kewarganegaraan Baru
1. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran
Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum
atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai
berikut:
1. Asas ius sanguinis (
law of the blood)
adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan,
bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (
law of the soil) secara
terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan
negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan
satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda
(bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda
yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah
atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya)
tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.
2. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran
Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan
pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria
WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun
atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih
tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18
tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi
anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah
pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian
hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua
yurisdiksi.
Indonesia
memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam
hal status personal indonesia
menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti
pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis).
Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status
personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri,
sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap
berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya,
menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah
Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal
tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia
yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan,
perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum,
soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga
memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang
didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada
ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu
dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana
bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu
pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana.
Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada
ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil
dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun
hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus
mengikuti hukum Indonesia
sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan.
Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis
lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang
(pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi
kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang
harus diikutinya.
Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum
perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis
berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi
masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi
kajian para ahli hukum perdata internasional.
3. Kritisi terhadap UU Kewarganegaraan yang baru
Walaupun banyak menuai pujian, lahirnya UU baru ini juga masih menuai kritik
dari berbagai pihak. Salah satu pujian sekaligus kritik yang terkait dengan
status kewarganegaraan anak perkawinan campuran datang dari KPC Melati
(organisasi para istri warga negara asing).
“Ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan, Undang-Undang Kewarganegaraan menjamin
kewarganegaraan anak hasil perkawinan antar bangsa. Enggi memuji kerja DPR yang
mengakomodasi prinsip dwi kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan menilai
masuknya prinsip ini ke UU yang baru merupakan langkah maju. Sebab selama ini,
anak hasil perkawinan campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak mereka.
Hanya saja KPC Melati menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak hasil
perkawinan campur hanya terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC
Melati berharap aturan tersebut bisa berlaku sepanjang hayat si anak.
Penulis kurang setuju dengan kritik yang disampaikan oleh KPC Melati tersebut.
Menurut hemat penulis, kewarganegaraan ganda sepanjang hayat akan menimbulkan
kerancuan dalam menentukan hukum yang mengatur status personal seseorang.
Karena begitu seseorang mencapat taraf dewasa, ia akan banyak melakukan
perbuatan hukum, dimana dalam setiap perbuatan hukum tersebut, untuk hal-hal
yang terkait dengan status personalnya akan diatur dengan hukum nasionalnya,
maka akan membingungkan bila hukum nasional nya ada dua, apalagi bila hukum
yang satu bertentangan dengan hukum yang lain. Sebagai contoh dapat
dianalogikan sebagai berikut :
“Joko, pemegang kewarganegaraan ganda, Indonesia dan Belanda, ia hendak
melakukan pernikahan sesama jenis. Menurut hukum Indonesia hal tersebut dilarang dan
melanggar ketertiban hukum, sedangkan menurut hukum Belanda hal tersebut
diperbolehkan. Maka akan timbul kerancuan hukum mana yang harus diikutinya
dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan khususnya.”
Terkait dengan persoalan status anak, penulis cenderung mengkritisi pasal 6 UU
Kewarganegaraan yang baru, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan
setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Bagaimana bila anak tersebut perlu
sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan sebelum menikah, karena sangat
terkait dengan penentuan hukum untuk status personalnya, karena pengaturan
perkawinan menurut ketentuan negara yang satu ternyata bertentangan dengan
ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila memang pernikahan itu membutuhkan
suatu penentuan status personal yang jelas, maka anak diperbolehkan untuk
memilih kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini
penting untuk mengindari penyelundupan hukum, dan menghindari terjadinya
pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu negara.
IV. KESIMPULAN
Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri
sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan.
Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan
yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan
ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk
anak hasil perkawinan campuran.
UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk
terkait dengan status anak. Penulis juga menganalogikan sejumlah potensi
masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring
berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini
penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata
internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.
TANYA JAWAB TENTANG
STATUS ANAK LUAR KAWIN
Menanggapi pertanyaan yang disampaikan oleh
Sdr.
Adit (Universitas Brawijaya) dan
Ibu Riku (Individual) mengenai
“Status Anak Luar Kawin dari Perkawinan Campuran” (red- dari pasangan beda
bangsa/campuran), secara ringkas berikut analisa yang dapat diberikan:
Berdasarkan ketentuan hukum Indonesia, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 dijelaskan bahwa
"Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya". Oleh karena itu, apabila sang Ibu berkewarganegaraan Indonesia,
maka si Anak akan mengikuti warga negara dan hukum sang Ibu. Bila sang Ibu
berkewarganegaraan asing maka si Anak akan ikut warga negara ibunya yang WNI.
Hal ini juga diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006 (“
UU 12/2006”) tentang
Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan yang baru) dalam Pasal 4 huruf g, mengenai
siapakah yang bisa disebut sebagai warga negara Indonesia, yaitu:
“Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Indonesia”
Lalu bagaimana dengan anak luar kawin yang ibunya WNA dan
ayahnya WNI, tetapi sang ayah mau mengakui Anak tersebut sebagai Anaknya? UU
12/2006 juga telah mengatur mengenai hal tersebut, di mana dalam Pasal 4 huruf
h tercantum bahwa WNI adalah:
“Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan
pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun
atau belum kawin”.
Kemudian bagaimana dengan anak luar nikah yang
ibunya WNI lalu ayahnya WNA tapi sang ayah mau mengakui anak tersebut?
Berdasarkan pasal 5 (1) UU 12/2006, dijelaskan:
“Anak Warga Negara Indonesia
yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun
atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia”.
Tetap diakuinya anak-anak tersebut diatas sebagai WNI
berdasarkan Pasal 6 UU 12/2006 menyebabkan anak-anak ini mempunyai
kewarganegaraan ganda sampai usianya 18 tahun atau sudah kawin, di mana ia dibolehkan
untuk memilih kewarganegaraannya. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan
disampaikan secara tertulis kepada Pejabat yang ditugaskan oleh menteri untuk
mengurusi bidang kewarganegaraan, dengan dilampiri dokumen sesuai peraturan
perundangan.
Anak-anak yang lahir dari hubungan luar kawin lalu diakui
atau diakui secara sah oleh ayahnya yang WNA atau WNI, seperti tersebut diatas,
dan ia belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang 12/2006 dengan
mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik
Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Demikian penjelasan yang dapat diberikan semoga membantu.