7 Langkah Sederhana Agar Tidak Mengulang
Kesalahan yang Sama
Salah itu biasa. Orang yang takut menghadapi
kesalahan justru berisiko menjadi diri yang tidak
berkembang dan jalan di tempat. Tapi akan menjadi
tidak biasa jika kita kembali, kembali, dan kembali
mengulangi kesalahan yang sama.
Kesalahan-kesalahan yang kita lakukan itu berguna
sebagai feedback bahwa cara yang kita lakukan
belum tepat dan perlu diperbaiki. Tetapi tidak jarang
juga kita melihat bahwa justru terulang kembali
kesalahan-kesalahan lama yang dibuat. Nah, kali ini
saya ingin berbagi tips mengenai 7 langkah yang
bisa diterapkan agar kita tidak lagi mengulangi
kesalahan yang sama.
‘Tafakkur 1 jam, lebih baik dari ibadah 1 tahun”.
Sepintas, ungkapan Imam Syafi’I itu berlebihan.
Bagaimana mungkin sebuah amal yang dilakukan
dalam rentang 1 jam, bisa lebih baik dari ibadah
selama 1 tahun?
Ungkapan Imam Syafi’I itu tentu tidak disampaikan
dalam konteks perbandingan yang saling menafikan
antara satu dengan yang lain. Imam Syafi’i tidak
mengajak agar orang melakukan tafakkur 1 jam, lalu
tak perlu beribadah selama satu tahun. Sama sekali
tidak. Ia hanya ingin menekankan pentingnya
merenung, menghisab diri, mengevaluasi amal yang
telah lalu, menekuri hidup dan seterusnya. Sikap ini
sangat penting dan bahkan menjadi syarat seseorag
untuk mampu memiliki kualitas ibadah yang lebih
baik.
Ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan agar
kita terbiasa mengambil pelajaran dari masa lalu,
baik dari apa yang telah dilakukan diri sendiri,
maupun orang lain.
1.Merenung, bermuhasabah atau mengevaluasi amal
dalam satu har
2.Memiliki agenda harian untuk mengevaluasi amal-
amal yang telah dilakukan.
3.Biasakan menilai dan mempertajam kontrol
terhadap diri sendiri.
4.Sadarilah bahwa belajar dari pengalaman akan
menambah kedewasaan da kebijakan dalam
menyikapi hidup.
5.Ketahuilah, bahwa dalam batas tertetu kesalahan
dan kekelirua adalah lumrah.
6.Selami sejarah orang-orang yang hidup di masa
lalu.
7.Seringlah berdiskusi, bertukar pengalaman, saling
menasehati dengan orang-orang sholih tentang
berbagai fenomena hidup.
Pertama; Merenung, bermuhasabah atau
mengevaluasi amal dalam satu hari
Kebiasaan seperti inilah yang dilakukan seorang
sahabat yang menurut Rasulullah sebagai ahli surga.
Dalam hadits shahih disebutkan dalam 3 kesempatan
Rasulullah menyinggung kedatangan sahabat calon
penghui syurga itu di dalam majelis para sahabat.
Ahli syurga itu ternyata bukan ahli ibadah yang
kuantitas ibadahnya melebihi para sahabat lain. Ia
hanya kerap melakukan evaluasi diri mejelang
tidurnya setiap malam lalu ia hapus semua rasa
gundahnya pada sesama muslim.
Dalam kitab ‘Bukaul Mabrur’ yang mengulas tentang
tangisan orang2 sholih disebutkan perkataan
salafusholih: “Para orang tua kami selalu menghitug
diri dari apa yang mereka perbuat dan apa yang
mereka ucapkan, kemudian mereka menulisnya dalam
sebuah daftar. Setelah sholat ‘Isya, mereka
meneluarkan daftar amal dan ucapannya kemudian
menimbangnya. Jika amalan yang diperbuat buruk
yang perlu istighfar maka mereka bertaubat da
beristighfar. Namun jika amalan baik dan perlu
disyukuri, merekapun bersyukur kepada Allah hingga
mereka tidur. Kami pun mengiikuti jejak mereka.
Kami mencatat apa yang kami perbuat dan
menimbangnya”.
Kedua; Memiliki agenda harian untuk mengevaluasi
amal-amal yang telah dilakukan.
Agenda harian ini berisi daftar amal harian yg
dianggap wajib dilakukan. Misalnya; Memulai
pekerjaan dengan Bismillah, Membaca Istighfar
minimal 100kali, Membaca Al-Qur’an sekian halaman,
dsb. Sebaliknya catat pula alasan, problem dana
hambatan yang menjadikan kita tidak mampu
menunaikan amal-amal harian tersebut. Mencatat
hambatan amal-amal baik akan menjadi bahan
pengalaman agar bisa diantisipasi pada waktu
selanjutnya.
Sebagaimana setiap orang akan menerima lembaran2
amalnya selama di dunia pada pengadilan akhirat
nanti, setiap muslim sangat diajurkan untuk
menghitung-hitung sendiri amal-amalnya sejak di
dunia. Tujuannya jelas, agar segala keburukan tidak
terulang, dan segala kebaikan terpelihara bahkan
lebih baik lagi. Umar r.a memberi nasehat, “Hasibuu
anfusakum, qobla an tuhasabuu”. Hisablah amal-
amal kalian sendiri, sebelum amal-amal kalian di
hisab (oleh Allah di hari kiamat).”
Imam Hasan Al Bashri mengatakan, “Sesungguhnya
penghisaban di hari kiamat akan ringan bagi kaum
yang telah menghisab amalannya di dunia, begitu
pula sebaliknya penghisaban di hari kiamat akan
berat bagi orang yang tidak menghisab amalannya di
dunia”.
Ketiga; Biasakan menilai dan mempertajam kontrol
terhadap diri sendiri.
Seseorang yang takjub dengan pribadi Hasan Al-
Bishri pernah bertannya, “Siapa yang mendidikmu
memiliki pribadi seperti ini?” Hasan Al-Bishri
menjawab pendek. “Diriku sendiri”. “bagaimana bisa
seperti itu?” Tanya orang itu lagi. Hasan
menguraikan, “Jika aku melihat keburukan pada
orang lain, aku berusaha menghindarinya. Jika aku
melihat kebaikan pada orang lain, aku berusaha
mengikutinya. Dengan begitulah aku mendidik diriku
sendiri…”
Sikap Ulama sholih generasi tabi’in itu jelas
menekankan pentingnya seseorang mengambil
pelajaran sebuah peristiwa. Teorinya sederhana,
meniru yang baik dan menghindari yang tidak baik.
Tapi hasilnya, prinsip itulah yang menghadirkan
pribadi yang menakjubkan. Apa yang
melatarbelakangi Hasan Al-Bashri berprinsip seperti
itu? Tidak lain untuk menghindari kekeliruan masa
lalu, baik yang dilakukan diri sendiri maupun orang
lain. Itu kuncinya, sehingga dari hari ke hari ia selalu
berupaya memperbaiki kepribadiannya
Keempat; Sadarilah bahwa belajar dari pengalaman
akan menambah kedewasaan da kebijakan dalam
menyikapi hidup.
Semakin banyak orang bercermin terhadap masa lalu,
maka ia akan semakin bijaksana dalam menentukan
langkah. Saat mendapat kelapangan, seseorang tidak
mudah larut oleh kesenangan. Ia berfikir bahwa ada
kalanya lapang dan ada kalanya sempit. Saat
medapat kesulitan, ia juga tidak mudah hanyut.
Karena ia berfikir bahwa kesulitan akan silih berganti
dengan kemudahan dst. Perbandingan seperti ini
membuat seorang mukmin tetap bersyukur apapun
kondisi yang ia alami. Itulah variasi dan itulah wujud
kesempurnaan hidup sehingga saling melengkapi.
Tanpa sikap seperti ini orang akan mudah terkena
peyakit jiwa. Mudah gelisah dan selalu merasa tidak
puas. Ia bahkan sulit merasa bahagia karena selalu
terombang ambing oleh dinamika hidup itu sendiri.
Kelima; Ketahuilah, bahwa dalam batas tertetu
kesalahan dan kekelirua adalah lumrah.
Allah SWT tidak menciptakan manusia sempurna.
Selalu saja ada manusia yang lebih disini dan kurang
disana. Atau sebaliknya, lebih disana dan kurang
disini. Sehingga prinsipnya jangan takut gagal dalam
beramal. Tidak jarang, kegagalan dan kesalahan
merupakan batu loncatan ke arah kebaikan.
Setidaknya ia menjadi sprit untuk melakukan
penebusan. Makna ini antara lain yang terkandung
dalam pesan Rasulullah agar kita mengiringi segala
keburukan yang kita lakukan dengan kebaikan.
“Bertakwalah kamu kepada Allah di mana saja kamu
berada. Dan ikutilah keburukan itu dengan kebaikan,
niscaya kebaikan itu akan menghaopus keburukan”.
(HR.Bukhari dan Muslim)
Keenam; Selami sejarah orang-orang yang hidup di
masa lalu.
Dengan mengetahui masa lalu, berarti seseorang
memiliki modal informasi berharga sebagai bekal
perjalanan yang ia lakukan di masa mendatang.
Peristiwa apapun, baik dilakukan oleh sebuah
generasi maupun orang per orang, harus menjadi
cermin perbandingan melangkah ke depan.
Kehidupan ini tak ubahnya cermin pengulangan masa
lalu. Silih berganti antara keberhasilan dan
kegagalan, kemenangan dan kekalahan, kebahagiaan
dan kesediahan. Semua berputar dan berganti bagai
pergantian siang dan malam. Firman Allah SWT, “Dan
hari-hari itu kami pergilirkan di antara
manusia…” (QS.Al Imran:140).
Itulah hikmah penjabaran sejarah perjuangan para
Rosul dan Nabi yang tertuang dalam Al-Qur’an. Allah
SWT membina mental perjuangan Rosulullah dan
para sahabatnya melalui uraian panjang tentang
perjuangan para Nabi dan Rosul sebelum mereka.
Jejak sejarah perjuangan itulah yang akan menjadi
rambu bagi umat manusia sepanjang zaman dalam
menegakkan kebenaran.
Fir’aun hanya satu tokoh sejarah yang diungkapkan
Al-Qura’an. Ia merupakan symbol penguasa yang
melakukan kekejaman dan penindasan terhadap
rakyat, sekaligus memusuhi ajaran Allah SWT yang
dibawa oleh Nabiyullah Musa AS. Melihat sejarah
sepak terjang Fir’aun, manusaia diajak mengerti
bagaimana bahaya nya kejahatan yang datang dari
sebuah kekuasaan. Lebih berbahaya dari kejahatan
kriminal berupa pembunuhan atau perampokan. Kisah
fir’aun juga memberi gambaran kepada para penegak
kebenaran bahwa mereka aka selalu menghadapi
gembong-gembong kejahatan. Karena setiap zaman
memiliki ‘Fir’aun’ nya sendiri.
Ketujuh; Seringlah berdiskusi, bertukar pengalaman,
saling menasehati dengan orang-orang sholih
tentang berbagai fenomena hidup.
Seorang pemikir menyebutkan, “Manusia itu ibarat
burung yang bersayap sebelah”. Tak mungkiin bisa
terbang, jika ia tak memiliki sayap pasangannya.
Maka, ia hanya bisa terbang kalau mau berpelukan
erat-erat dan berkerjasama dengan orang lain.
Begitulah analoginya, setiap orang memerlukan
bantuan orang lain untuk bisa berhasil dalam hidup.
Apa artinya?
Setiap orang harus saling memberi dan membantu
satu sama lain. Rosulullah mengistilahkan hal ini
dengan sabdanya “Setiap mukmin adalah cermin bagi
saudaranya yang lain”. Cermin, sumber informasi
paling akurat dan jujur tentang berbagai fenomena.
Cermin tempat memperoleh penilaian tentang diri,
kapanpun dan dimana pun. Cermin juga pandai
menyimpan informasi hanya pada pihak yang
langsung terkait dengan informasi itu.
Roda kehidupan takkan pernah berhenti bergulir. Hari
demi hari terus berjalan. Tugas kita adalah
memanfaatkan kesempatan hari ini untuk menyosong
hari esok. Terlalu banyak pelajaran yang seharusnya
membuat kita menjadi lebih baik dari yang terlah
lalu. Terlalu banyak pelajaran yang seharusnya
menjadikan kita berhati-hati dan berhitung matang
untuk melangkah. Terlalu banyak peringatan untuk
menyadarkan kita agar tidak mengulangi kesalahan
yang sama. Ingat, jangan sampai terantuk pada batu
yg sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar